Oleh: Fadhil Hasan, ekonom senior di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).
Tenaga kerja telah menjadi isu yang diperdebatkan di sektor minyak kelapa sawit dalam beberapa bulan terakhir. Mereka yang berada dalam komunitas minyaka kelapa sawit akan sangat menyadari bahwa klaim negatif seputaran tenaga kerja telah dilontarkan terhadap minyak kelapa sawit selama beberapa tahun terakhir, setidaknya sejak tahun 2015. Namun, dalam hal tenaga kerja, klaim LSM seringkali tidak pandang bulu. Aktivis telah menggunakan sejumlah contoh di wilayah tersebut untuk berargumen bahwa minyak kelapa sawit – terlepas dari mana dan bagaimana ia diproduksi – ‘tercemar’ dengan pelanggaran hak-hak buruh atau hak asasi manusia, termasuk perdagangan manusia dan kerja paksa.
Ini juga termasuk minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh 2,7 juta petani kecil di Indonesia. Jelas ini tidak masuk akal, tetapi klaim terus dibuat, apakah itu dalam laporan yang didanai oleh pemerintah Norwegia dan apa yang disebut organisasi filantropi, atau kelompok pertanian Barat yang mencari cara lain untuk memblokir minyak sawit dari pasar mereka yang kaya.
Dalam hal pemerintah dan kebijakan global, pemerintah AS telah menjadi salah satu aktor kunci dan utama pemerintah untuk meningkatkan hak dan standar tenaga kerja. Pemerintah Eropa cenderung lebih fokus pada masalah lingkungan dan perubahan iklim daripada standar tenaga kerja serta pengurangan kemiskinan. Pendekatan pemerintah AS sedikit berbeda dibanding pelaku antarpemerintah lainnya seperti Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organisation). ILO bekerja erat dengan pemerintah dan masyarakat sipil – seperti yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun di sektor minyak kelapa sawit – untuk meningkatkan praktik, kepatuhan dan penegakan hukum. Pemerintah AS juga melakukan hal ini; tetapi juga siap untuk memberitahu hal-hal sebagaimana adanya dan memberitahu perilaku buruk ketika melihatnya – dan menghukumnya dengan sanksi perdagangan.
Apa yang dikatakan badan-badan ini tentang sektor minyak kelapa sawit Indonesia? Laporan Perdagangan Manusia terbaru dari Departemen Luar Negeri AS secara umum memberikan laporan positif kepada sektor minyak kelapa sawit Indonesia, terlepas dari klaim LSM. Salah satu alasan utama untuk ini adalah bahwa Indonesia pada umumnya merupakan sumber tenaga kerja yang diperdagangkan, bukan sebagai tempat tujuan. Indonesia sering menemukan mereka dieksploitasi. Untuk itulah pemerintah Indonesia membentuk Badan Perlindungan Pekerja Migrasi Indonesia (BP2MI), misalnya, mereka mengoperasikan saluran siaga untuk melindungi tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Perlu juga ditunjukkan bahwa Indonesia dianggap sebagai negara ‘tingkat 2’ dalam laporan Departemen Luar Negeri AS; ini merupakan klasifikasi yang dibagikan oleh negara-negara kaya seperti Italia, Jerman dan Norwegia. Laporan ini tidak sempurna bagi Indonesia. Disebutkan bahwa perdagangan dan eksploitasi tenaga kerja masih terjadi di Indonesia. Namun ini bukan perhatian utama Departemen Luar Negeri AS atau ILO dalam hal terkait minyak kelapa sawit.
AS dan ILO saat ini bekerja sama dengan Kementerian Pertanian dan Ketenagakerjaan, Kemeterian Koodinator Bidang Perekonomian, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan serikat pekerja negara tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan di keseluruhan sektor sebagai bagian dari program dua-tahun ini. Koordinasi antara Jakarta, Washington dan ILO ini dengan jelas menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia dan industri sangat menyadari masalah ini dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Demikian pula, kolaborasi yang sedang berlangsung antara beberapa perusahaan perkebunan terbesar di Indonesia, masyarakat sipil dan organisasi sertifikasi menunjukkan kesediaan industri untuk menghadapi tantangan tersebut.
Pada simposium baru-baru ini tentang hak-hak buruh yang diselenggarakan bersama oleh Gapki dan ILO, tampak jelas bahwa tantangan untuk meningkatkan hak-hak buruh di sektor kelapa sawit akan terus berlanjut. Hal ini benar karena dua alasan. Yang pertama, industri ini menjadi lebih signifikan di area seperti Kalimantan, dan operasional di wilayah tersebut kini berada di bawah pengawasan yang lebih ketat. Kedua, ketidakstabilan Covid-19 telah mempersulit perusahaan untuk mempertahankan kapasitas tenaga kerja; hal ini juga mempersulit agen tenaga kerja untuk melakukan inspeksi di tempat.
Namun, ada alat tambahan yang dapat dan akan membantu industri untuk terus maju, serta membantu negara–negara yang membutuhkan kepastian terkait ekspor Indonesia: sertifikasi ISPO atau Indonesia Sustainable Palm Oil. Sertifikasi ISPO mengharuskan perusahaan untuk mematuhi selutuh persyaratan tenaga kerja, apakah mereka membayar upah minimum, sesuai dengan peraturan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) atau mematuhi prinsip hak asasi manusia seperti “tidak ada pekerja di bawah umur” dan “tidak ada perbudakan”.
Pesan utama di balik kolaborasi internasional Indonesia, kolaborasi bisnis-pemerintah dan inisiatif sertifikasi adalah bahwa Indonesia tidak berpura-pura seolah tidak ada masalah. Tetapi industri juga tidak ‘penuh’ dengan eksploitasi seperti yang dikatakan oleh aktivis di Barat. Indonesia secara keseluruhan menangani masalah ini secara serius dan sebagai bagian dari komitmen nasional menuju kesejahteraan sosial.
*Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah sepenuhnya milik penulis.
Comments