Pada awal tahun 2020, fundamental positif membentuk pasar minyak kelapa sawit. Permintaan global terhadap minyak kelapa sawit sedang mengalami kenaikan, dengan angka konsumsi meningkat dua kali lebih banyak daripada angka produksi.
Konsumsi minyak kelapa sawit diestimasikan akan melebihi angka produksi sebanyak 3.2 juta metrik ton pada tahun 2019 hingga 2020, dan selisihnya harus ditutupi dengan menggunakan persediaan yang ada, mengakibatkan menurunnya tingkat persediaan minyak kelapa sawit terendah sejak tahun 2009 hingga 2020. Namun sistuasinya berubah dengan cepat sejak saat itu.
Minyak Serbaguna
Popularitas minyak kelapa sawit akhir-akhir ini tidak mengejutkan mengingat keserbagunaannya, dengan kegunaannya dari minyak goreng dan bahan tambahan makanan hingga sebagai bahan bakar hayati serta pakan ternak. Dalam hal ini, mirip dengan minyak nabati lainnya, seperti minyak kacang kedelai dan minyak kanola.
Namun kelebihan minyak kelapa sawit tidak hanya terbatas pada keserbagunaannya. Ia juga sangat efisien, memberikan hasil lima kali lipat lebih banyak daripada minyak dari biji-bijian lain. Misalnya, kelapa sawit dapat memproduksi 3,3 metrik ton minyak kelapa sawit per hektar, dibandingkan dengan 0,4 metrik ton per hektar yang dihasilkan kacang kedelai, dan 0,7 metrik ton per hektar yang dihasilkan oleh biji rapa dan bunga matahari.
Produksi minyak kelapa sawit sangat terpusat, dengan Indonesia sebagai produsen terbesar minyak kelapa sawit di dunia dengan margin sebesar 42,5 juta metrik ton pada tahun 2019 hingga 2020. Malaysia di urutan kedua dengan nilai 19 juta metrik ton, dan produsen ketiga terbesar adalah Thailand, Kolumbia dan Nigeria, dengan nilai gabungan yang hanya memproduksi 5,7 juta metrik ton.
India merupakan importir minyak kelapa sawit terbesar, mengimpor sekitar 9,75 metrik ton pada tahun 2019 hingga 2020. Diikuti oleh Uni Eropa dan Tiongkok, di mana Tiongkok mengimpor 7,3 juta metrik ton minyak kelapa sawit pada tahun 2019 hingga 2020, dan bisa mencukupi seluruh permintaan dalam negeri.
Harga Minyak Kelapa Sawit
Sementara harga minyak kelapa sawit terus meningkat dengan stabil pada sebagian besar tahun 2019, wabah coronavirus yang tiba-tiba muncul menghentikan kenaikan tersebut. Sejak saat itu, harganya terus jatuh dikarenakan juga mengurangnya permintaan.
Pergerakan harga sejak saat itu kemungkinan akan bergantung kepada beberapa faktor, seperti kecepatan pulihnya ekonomi global, seberapa parah produksi minyak kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia terpegaruh oleh langkah-langkah penjagaan jarak sosial, cuaca di daerah perkebunan serta langkah-langkah bantuan terkait coronavirus yang diberikan oleh pemerintah untuk mendukung petani dan pengguna.
Bursa Derivatif Malaysia (Bursa Malaysia Derivatives) dan Bursa Komoditas Dalian (Dalian Commodity Exchange) bertindak sebagai tolak ukur harga global minyak kelapa sawit, dengan kontrak berjangka panjang masing-masing dalam mata uang Ringgit Malaysia dan Re Min Bi Tiongkok. Demikian pula dengan kontrak Grup CME menggunakan mata uang Dolar Amerika yang merupakan standar untuk minyak kelapa sawit.
Tiongkok dan Minyak Kelapa Sawit
Di Tiongkok, permintaan minyak kelapa sawit terutama didorong oleh penggunaannya sebagai minyak goreng, bahan utama mi instan dan produksi kosmetik.
Mengingat pentingnya dalam penggunaan makanan, Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir telah melakukan upaya di sektor hulu untuk mengamankan pastikan minyak kelapa sawitnya. Misalnya, Grup Julong telah mengembangkan 50,000 ekar perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sementara itu, Akademi Ilmu Pertanian Tropis Tiongkok (Chinese Academy of Tropical Agricultural Sciences) sedang mengikuti pertumbuhan pohon kelapa sawit penghasil minyak di Hainan. Masih menjadi sebuah tanda tanya apakah permintaan minyak kelapa sawit di Tiongkok akan terus berlanjut pada tingkat seperti pada saat ini, karena permintaan bukan hanya sensitif terhadap dampak negatif coronavirus yang dipublikasikan, tetapi juga dipengaruhi oleh resiko lain yang tidak kelihatan.
Masalah yang Segera Timbul...
Praktek pertenakan babi berskala besar yang lebih efisien diharapkan dapat mendorong permintaan bungkil kacang kedelai, yang digunakan sebagai pakan ternak, menciptakan surplus minyak kacang kedelai, produk sampingan dari produksi bungkil kedelai. Karena minyak kelapa sawit mudah tergantikan oleh minyak kacang kedelai, surplus ini bisa mengurangi permintaan impor minyak kelapa sawit. Impor minyak kelapa sawit Tiongkok dari Amerika Serikat telah meningkat semenjak kedua negara tersebut sepakat pada perjanjian perdagangan Fase Satu, yang akan menghapus biaya pengiriman kacang kedelai dari Amerika Serikat.
Ancaman lain hadir dalam bentuk perubahan perilaku konsumen. Jika konsumen cenderung lebih memilih bentuk minyak lain yang lebih tersedia atau dianggap lebih berkelanjutan, situasi tersebut dapat membahayakan produksi minyak kelapa sawit. Produsen harus mengelola resiko ini seiring dengan perkembangan pasar.
... Atau Akankah Ada Perubahan yang Baik Setelah Masalah?
Di sisi lain, tidak semua hal membawa bencana kepada minyak kelapa sawit, dengan sejumlah faktor yang mampu meningkatkan permintaan Tiongkok untuk minyak kelapa sawit. Faktor utamanya adalah kesepakatan antara Amerika Serita dan Tiongkok. Di mana kesepakatan tersebut Tiongkok berkomitmen untuk membeli produk pertanian Amerika Serikat senilai 40 miliar Dolar Amerika, dan hal ini bisa menguntungkan minyak kelapa sawit.
Mengingat penurunan yang drastis dari populasi babi ternak di Tiongkok karena demam babi Afrika, Tiongkok tampaknya akan mengimpor lebih banyak daging babi dari Amerika Serikat. Hal tersebut akan mendorong permintaan minyak kelapa sawit, seiring menurunnya produksi minyak kacang kedelai sejalan dengan berkurangnya permintaan bungkil kedelai untuk pakan ternak. Jika produksi dan pengiriman daging babi dari Amerika Serikat tidak terlalu terpengaruh oleh coronavirus, situasi ini akan menyebabkan permintaan yang lebih tinggi terhadap minyak kelapa sawit dibandingkan dengan sebelumnya.
Salah satu faktor positif yang lebih jelas adalah harga. Minyak kelapa sawit biasanya diperdagangkan pada harga yang secara signifikan lebih rendah dibanding minyak kacang kedelai. Jika selisih harga minyak kelapa sawit dengan minyak nabati lainnya melebar, maka permintaan tidak hanya akan bertahan di Tiongkok, namun juga akan terus meningkat.
Melihat ke Depan
Investasi Tiongkok di perkebunan kelapa sawit dan perusahaan daging di luar negeri, seperti pembelian Smithfield Foods oleh Shuanghui International Holdings, yang kini dikenal dengan nama WH Group, mungkin akan memberikan sekilas gambaran pada rencana masa depan negara itu dalam mencapai ketahanan pangan di masa depan melalui akuisisi di luar negeri.
Di sisi lain, Menteri Pertanian dan Pedesaan Tiongkok Hang Changfu baru-baru ini mengatakan bahwa meningkatkan produksi daging babi dalam negeri merupakan prioritas utama, mengindikasikan bahwa pemerintah tidak ingin bergantung pada impor. Bagaimana pun, kebijakan pertanian dan ketahanan pangan Tiongkok kemungkinan besar akan berdampak pada permintaan minyak kelapa sawit di masa mendatang. Apakah permintaannya naik atau turun akan tergantung pada langkah yang diambil Tiongkok.