Oct 15, 2021

Indonesia melestasikan Hutan Hujan pada Tingkat Tertinggi dalam Tiga Dekade Terakhir

Sepertiga dari hutan tropis dunia terdapat di Indonesia. Hutan-hutan ini merupakan rumah bagi suku asli, burung, siaman, badak, macan tutul dan harimau. Untungnya, perlindungan saat ini membantu hutan-hutan yang penting ini berkembang.

Pemerintahan Presiden Indonesia Joko Widodo telah mencapai penurunan deforestasi selama empat tahun berturut-turut melalui reformasi tata guna lahan dan penetapan kembali moratorium penebangan. Pekerjaan signifikan ini mencapai puncaknya pada tahun 2020, ketika negara tersebut mencapai tingkat deforestasi terendah sejak moratorium dimulai, mencapai penurunan75% dari tahun ke tahun.

Sebelum adanya moratorium, Indonesia membuka diri bagi siapa saja yang mencari peluang untuk membuka perkebunan. Negara tersebut merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, komoditas yang digunakan pada beragam produk harian, mulai dari sabun, sampo, deodoran, hingga lipstik, kacang-kacangan, roti, margarin, dan bahkan es krim.

Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi dan paling produktif di dunia, menghasilkan sepuluh kali lipat lebih banyak per hektarnya daripada kacang kedelai. Namun, banyak dari produksi tersebut didapatkan dengan mengorbankan hutan, penghijauan, dan tanah adat serta masyarakat, dimana mereka digantikan dengan perkebunan industrial yang luas.

Pada tahun 2018, Presiden Joko Widodo, yang terpilih pada tahun 2014, mengeluarkan moratorium izin baru bagi perkebunan kelapa sawit, ditambah dengan harga rekor terendah bagi produk tersebut untuk memperlambat kemajuannya yang sempat melesat. Penangguhannya menjadi permanen pada tahun 2019, menanggapi kekhawatiran yang meluas terhadap pelanggaran lingkungan, pelanggaran hak-hak buruh, dan konflik lahan dalam industri kelapa sawit.

Setengah dari 17.500 pulau di Indonesia saat ini tertutup lahan gambut, hutan, rawa, ataupun bakau. Menurut FAO, 52,1% (sekitar 94.432.000 hektar) Indonesia merupakan hutan; 50% (47.236.000) merupakan hutan primer, jenis hutan yang paling beragam dan padat karbon yang ada. Di wilayah tersebut terdapat beberapa hewan luar biasa dan ikonik yang bergantung pada hutan untuk bertahan hidup. Ini termasuk:

  • Komodo di Pulau Komodo

  • Orangutan di Pulau Sumatra

  • Badak di Pulau Jawa

  • Burung Jalak di Pulau Bali

  • Anoa di Pulau Sulawesi

  • Macan Dahan Sunda di Pulau Kalimantan

Kebijakan baru-baru ini telah memberikan harapan bahwa negara tersebut dapat memulihkan hutan yang tersisa, melindungi habitatnya, dan mengurangi emisi setara dengan komitmennya terhadap Perjanjian Paris. Kebijakan-kebijakan ini termasuk pengembalian 30 juta ekar (12 juta hektar) lahan kepada tata kelola adat, meningkatkan pinalti dan penegakan hukum lingkungan, strategi mitigasi kebakaran hutan, dan banyak lagi.

Pemerintah Norwegia mendukung perubahan positif pada praktik kehutanan. Hampi sepuluh tahun setelah penandatanganan perjanjian yang akan memberikan kompensasi kepada lembaga pemerintah jika mereka mengurangi hilangnya hutan, Norwegia, Pemerintah Norwegia mengirimkan angsuran pertama kompensasi tersebut senilai 1 milyar Euro (sekitar 1,2 milyar Dolar AS) kepada Indonesia. “Ia merupakan hal besar karena ia mencerminkan fakta bahwa Indonesia telah berubah, dan ini merupakan berita baik bagi kita semua,” kata direktur Rainforest Foundation, Oyvind Eggen, kepada Reuters.

Moratorium itu dijadwalkan akan berakhir pada 19 September. Namun, minggu lalu, aktivis dan pejabat di Indonesia menyerukan pembaruan larangan penerbitan izin baru untuk perkebunan kelapa sawit. Dengan kurang dari tiga minggu sebelum moratorium berakhir, pemerintah belum mengumumkan apakah akan memperpanjangnya atau tidak. Namun, tampaknya menjanjikan karena pejabat senior juga mendorong untuk diperpanjang.

Alue Dohong, wakil menteri lingkungan hidup dan kehutanan, menyoroti bahwa aspek keberlanjutan moratorium berkontribusi terhadap tujuan jangka panjang Indonesia dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca. Hal ini dikarenakan sumber utama emisi Indonesia merupakan perubahan fungsi lahan dan deforestasi, berbeda dengan sebagian besar negara penghasil emisi lainnya, di mana transportasi dan pembangkit listrik menyumbangkan sebagian besar dari emisinya.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan target yang mengagumkan untuk mengubah hutannya menjadi lahan penyerap karbodioksida pada tahun 2030 dengan mengurangi deforestasi, menanam lebih banyak pohon, dan mencapai karbon netral pada tahun 2070. “Jadi, relevan untuk melanjutkan moratorium untuk mencapai target penyerapan karbon pada tahun 2030,” kata Alue.

Para pemerhati lingkungan memperingatkan bahwa ‘tidak memperpanjang’ moratorium akan memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi hutan hujan Indonesia yang tersisa dan semua spesies yang hidup di antara kanopinya yang rimbun.